top of page

Atelir Ceremai: Kedai Kerja Kolektif dan Wadah Eksplorasi Seni


Tampak luar Atelir Ceremai sebagai kedai kopi sekaligus ruang kolektif seni


Seni dan Ruang Kolektif

Interpretasi seni bagi sebagian orang mungkin berbeda-beda, sebagian besar masyarakat menganggap seni adalah entitas yang abstrak, dan sebagian lain memiliki pengertian seni tersendiri. Bagi saya sebagai awam, seni adalah berkarya melahirkan perwujudan dari kreativitas, inovasi, cinta, imajinasi, dan perasaan, sedangkan pengertian seni menurut Herbert Read adalah ekspresi dari penuangan hasil pengamatan dan pengalaman yang dikaitkan dengan perasaan, aktivitas fisik dan psikologis ke dalam bentuk karya.


Jika seni adalah karya, tentu kehadirannya menumbuhkan berbagai macam dan bentuk sarana untuk melahirkan segala jenis karya tersebut. Salah satunya adalah ruang kolektif seni, ruang yang dimaksudkan sebagai sarana untuk apresiasi, berkumpul, serta diskusi bagi mereka yang memiliki secercah ketertarikan pada seni. Di Universitas Negeri Jakarta, para mahasiswa tidaklah memiliki sebuah tempat ataupun ruang yang menetap untuk berkumpul dan berkolaborasi antara bermacam jenis seni yang ada. Lalu bagaimana kelanjutan bagi mereka yang ingin menggoreskan hasil goresan tangan dan pikirannya untuk dituangkan sebagai karya dan apakah mereka memiliki ruang tetap yang dapat menjadi wadah dalam berkarya?


Berada di titik nol Rawamangun, kehadirannya sedikit tersembunyi oleh mereka yang sekadar melihat sekejap tanpa memberikan celah untuk masuk ke dalam ruang kehidupan seni, yang keberadaannya diperuntukkan sebagai sarana menuntaskan gairah dalam berkarya, ruang yang bernama Atelir Ceremai.


Bermula dari Hasrat Untuk Terus Berkarya

Tampak dari luar memang hanya terlihat seperti kedai kopi atau tempat nongkrong mereka yang berjiwa muda untuk sekadar bercengkrama, sambil menikmati ramainya Jalan Rawamangun Muka yang didominasi kendaraan berknalpot bising. Lebih dari itu, Atelir Ceremai mempunyai berbagai kisah latar belakang mengapa ia dilahirkan.


Berawal dari para mahasiswa di UNJ yang memiliki kecintaan terhadap seni seperti teater, sastra, rupa, musik dan sebagainya yang berkumpul dan berkarya bersama. Dengan menggunakan tempat-tempat di sekitaran kampus yang tidak tetap, Irsyad menganggap komunitas-komunitas seni di UNJ masih berserakan dan tidak teratur, ia dan mungkin beberapa mahasiswa yang lain mengharapkan adanya tempat yang menaungi mereka untuk bertukar ide dalam melahirkan karya.


Sebelum membicarakan bagaimana proses lebih lanjut mengenai terbentuknya Atelir Ceremai, mungkin akan saya singgung sedikit mengenai mereka para pendiri Atelir, Biang kerok panggilannya, mungkin bagi mereka yang dahulu penikmat film Benyamin sudah tidak asing dengan istilah ini. Para pendiri Atelir Ceremai yakni Irsyad, Jimbe dan Ghozi menamai diri sebagai Biang kerok namun bernuansa positif, yang diartikan sebagai pemancing mereka para seniman yang kurang percaya diri untuk berkarya.


Biang kerok: Jimbe, Ghozi, Irsyad


Ide mengenai pengadaan tempat atau ruang untuk komunitas seni UNJ sudah menjadi perbincangan yang larut di kalangan mahasiswa UNJ. Ketiadaan sarana untuk berkarya membuat para Biang kerok yang juga merupakan alumnus mahasiswa UNJ mendirikan Atelir Ceremai pada tahun 2019.


"Apa yang merupakan kegiatan berkarya, ngumpul-ngumpul, bertukar ide-ide yang bahkan merupakan ide ga penting dapat menghasilkan karya yang semua orang bisa lihat dan mengapresiasi," Kata Irsyad selaku salah satu Biang kerok.


Bukan Hanya Sekadar Kedai Kopi Biasa

Kini memang sudah tidak asing mendengar kedai kopi atau coffee shop di Jakarta. Keberadaannya ada dimana-mana, dengan berbagai konsep atau tema yang berbeda. Atelir Ceremai merupakan salah satu bangunan atau ruang yang dapat kita sebut juga sebagai kedai kopi, karena keberadaan menu kopi-kopian dan pelayan yang dikenal sebagai barista. Tetapi yang unik di Atelir Ceremai mereka menamai baristanya dengan sebutan Ladenis, yang artinya adalah orang yang melayani atau meladeni dalam bahasa Jawa.


Konsep kedai di Atelir sebenarnya sama dengan kedai-kedai kopi pada umumnya. Menyediakan berbagai pilihan menu bagi mereka yang datang untuk sekadar bercengkrama atau nongkrong. Membahas pilihan menu, ada yang menarik dari jejeran menu yang disajikan di Atelir. Kemenarikannya ini terlihat dari pemilihan nama yang unik untuk setiap menunya. Penentuan nama menu ini sendiri diinisiasi oleh para pendahulu Atelir, yakni Ladenis angkatan pertama juga para pendiri Atelir. Terlihat nama-nama menu tersebut sangat asing untuk sebuah menu minuman dan makanan, mulai dari Kopi paste sampai dengan Tahu kepo. Menurut penuturan Ibhe sebagai kepala kedai Atelir Ceremai, orang-orang yang membuat nama menu ini adalah orang-orang yang tidak serius, suka bergurau layaknya nama menu yang nyeleneh ini.


Kedai di Atelir Ceremai menjadi sarana penunjang berbagai program yang hadir di Atelir. Agar keberlangsungan kedai berjalan lancar maka Atelir mempunyai orang yang bertanggung jawab kepada kedai atau yang disebut sebagai kepala kedai.


“Gue harus memastikan logistik ada, kapan harus beli bahan buat dapur dan semua gitu, memastikan atelir aman ketika pembeli datang kayak parkirannya nih rame atau ngga, pembukuan, memastikan jadwal siapa yang hari ini jaga,” ucap Ibhe mengenai tanggung jawab kepala kedai.


Ibhe, kepala kedai sekaligus Ladenis di Atelir Ceremai


Selain Biang kerok, banyak orang yang turut berkontribusi dalam proses berdirinya Atelir Ceremai, dan Ibhe adalah salah satu orang itu. Ia menyumbangkan kreatifitasnya di bidang furnitur yang tentunya menjadi interior khas Atelir Ceremai saat ini.


Bukan hanya sekadar penghasil uang sewa untuk Atelir agar tetap eksis di Rawamangun dan sekitarnya, fungsi kedai di Atelir juga sebagai pemantik orang-orang yang datang agar terinspirasi, ikut mengapresiasi, dan ikut berkarya.


“Orang-orang yang berproses di bidang seni biasanya kerjanya pengen lebih nyaman santai dan dilayanin ya, nah di Atelir ini kondisi yang membuat nyaman dan melayani adalah konsep kedainya,” ucap Irsyad


Atelir Ceremai sebagai Ruang Kolektif Seni

Kata kolektif ini dimaknai oleh Biang kerok Atelir Ceremai sebagai tempat ngumpul-ngumpul yang biasanya terdapat banyak ide karya dilahirkan. Sebagai kedai-kerja-kolektif, Atelir mewujudkan berbagai macam program dan kegiatan yang berfokus pada apresiasi seni dan tentunya mereka yang berkarya, bertukar ide bahkan hanya sekadar bercengkrama.


Kegiatan bahas karya


Atelir Ceremai membentuk sarana bagi mereka yang ingin menuangkan gairahnya dalam berkarya, membuat dan menjalankan program-program seni yang bahkan saya belum pernah mendengarnya di kedai kopi lain. Atelir memiliki kurator yang bertugas menjalankan dan memastikan program seni di Atelir berjalan lancar. Kalau kurator bertugas sesuai bidang seni yang dihadirkan di Atelir, ada juga kepala kolektif yang bertugas secara adaptif untuk menjaga dan memastikan kegiatan di Atelir berjalan.


Pada awal berdirinya kedai Atelir ini belum mempunyai program-program di bidang seni, akan tetapi mereka terus berproses hingga pada akhirnya menjalankan program mulai dari bidang sastra, teater, musik, rupa, dan film. Program yang dijalankan oleh Atelir adalah bentuk apresiasi karya, contohnya program BAKAR atau Bahas Karya yang dimana mereka para pengunjung Atelir mendiskusikan mengenai isi buku bersama dengan pengunjung yang lain atau bahkan penulisnya langsung. Program lainnya ada showcase musik yang programnya bernama Sesuai Protokol, yakni program musik dimana memberikan kesempatan untuk para musisi yang masih berkembang.


Tidak semua kegiatan di Atelir adalah program Atelir, banyak kolaborasi antara Atelir dengan penggiat seni lainnya. Atelir terbuka bagi siapapun yang ingin mengadakan kegiatan seni dan segala bentuk apresiasi seni.


Dia yang Lahir dan Berkarya


Katanya, nama panggungnya adalah Gudensway. Sosok yang akrab dipanggil Way ini adalah salah satu Ladenis di Atelir Ceremai. Mengenal Atelir seperti anak muda pada umumnya, yakni mengeksplor tempat-tempat nongkrong. Berawal dari ajakan teman untuk sekadar nongkrong di Atelir, mengantarkan ia sampai di mana bisa di titik saat ini sebagai musisi yang menjadi impiannya sejak dahulu.


Way bukanlah orang-orang dibelakang alasan berdirinya Atelir, ia hanyalah mahasiswa yang bahkan bukan berasal dari UNJ. Seiring kehadirannya di Atelir yang dapat dibilang sering, ia pun mendapat tawaran untuk bekerja menjadi Ladenis.


Keberadaannya di Atelir membuat ia mendapatkan pelajaran dan pengalaman baru dari setiap orang yang ia temui. Gairah berkarya dalam dirinya pun menyala, karena pada dasarnya Way memang tertarik dengan musik. Di Atelir, kepiawaian Way terhadap musik pun semakin terasah, melalui orang-orang di Atelir yang mendukung membuat Way mendapatkan kepercayaan dirinya dalam menuangkan nada-nada di intuisinya ke dalam lirik lagu.


Pengalaman yang dilalui oleh Way ini mungkin juga dirasakan oleh mereka yang sempat menaruh jejak kakinya di Atelir Ceremai. Bukan hanya tempatnya yang berdiri dan berkembang, namun orang-orang yang berada di Atelir juga akan lahir dan berkembang untuk menuntaskan gairah dalam berkarya. SIGMATV/AsaYahdiani


Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page