top of page

Bahterah Hidup Dua Pilihan: Prinsip dan Mimpi


SIGMA TV—Ada sepenggal kalimat yang pernah dikatakan oleh seorang sastrawan, ia bilang, "Burung tersebut memang tidak akan lari, tapi burung tanpa sayap sudah bukan burung lagi. Dan manusia tanpa mimpi, sudah bukan manusia lagi.” Dari kata-kata tersebut terlintas sebuah pertanyaan, “Apa benar manusia tanpa mimpi sudah bukan manusia lagi?” Mimpi memang suatu hal yang dibutuhkan, tetapi bukankah manusia juga harus hidup dengan adanya prinsip? Lantas, bagaimana jika insan tersebut dihadapkan oleh bahtera hidup dua pilihan, prinsip dan mimpi. Bisakah keduanya berjalan dengan harmonis? Atau harus dikorbankan salah satunya?

Prinsip dan mimpi, keduanya memiliki konflik peran yang berbeda. Konflik peran diartikan pada situasi atau kondisi dimana seseorang dihadapkan oleh pemenuhan harapan akan tuntutan lebih dari satu peran. Lantas, bisakah mereka yang memiliki permasalahan tersebut menyelesaikan konflik peran yang berbeda itu?


Hidup Dalam Dua Pilihan

Second Shift, sebuah situasi dimana seseorang memiliki dua tanggung jawab besar yang sangat berbeda. Second shift pada umumnya tertuju pada pendidikan dan pekerjaan, tetapi pada kasus ini peran ganda yang merujuk pada pendidikan dan pernikahan. Baik pendidikan maupun pernikahan, keduanya memiliki beban yang sangat berat dan tanggung jawab yang sangat berbeda.

Fenomena second shift sendiri merupakan hal awam bagi kalangan mahasiswa. Berkuliah sembari menikah, memangnya bisa? Pertanyaan itu mungkin menjadi pertanyaan spontan yang terlintas di benak para mahasiswa jika diberitahu tentang fenomena ini. Jika ditanya, adakah yang bisa menjalaninya? Tentunya ada, tetapi harus dengan lika-liku yang sangat beragam, salah satunya kegelisahan dalam menentukan impian dan juga prinsip.


Keharmonisan Prinsip dan Mimpi

Bak sebuah kopi dan susu, prinsip dan mimpi merupakan dua hal yang berdampingan tetapi memiliki makna yang berbeda. Tak jarang, para pengejar mimpi harus merelakan mimpinya karena datangnya sebuah prinsip yang baru saja mereka buat.

Tasya Afdhalia Sumardi, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa Arab, merupakan satu dari sekian mahasiswa yang harus membagi waktunya untuk berkuliah dan menjadi ibu rumah tangga. Dengan alasan jodoh yang sudah datang, Tasya terbilang cukup berani mengambil langkah panjang tersebut. Tentunya, restu dari kedua orang tuanya juga yang membuat dirinya menjadi semakin yakin untuk menikah.

Adanya perubahan sosial dan emosional tentu saja dialami oleh Tasya. Dirinya merasa perbedaan yang sangat signifikan di lingkungan perkuliahan, ia merasa kesulitan membagi waktu antara kuliah, organisasi, dan juga keluarga. Sementara dalam segi emosional, Tasya merasa dirinya menjadi lebih sabar dan peka terhadap sesama.

“Aku sendiri orangnya cuek bahkan gak peduli terhadap sesama, tapi setelah menikah aku bisa dibilang jadi lebih peka,” ujar Tasya.

Namun, dibalik banyaknya lika-liku permasalahan yang Tasya hadapi, ia merasa beruntung memiliki keluarga yang selalu ada, dan juga teman-teman yang supportive, yang selalu menjadi pengingat ketika Tasya merasa kewalahan dengan tugas-tugasnya.



Tidak hanya Tasya, hal serupa juga dilakukan oleh mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi bernama Muhammad Dzikry Chandra Negara atau akrab disapa Dzikry. Berbekal prinsip dan landasan agama, Dzikry berani untuk mengambil langkah panjang untuk menikahi seseorang di masa kuliahnya dan menjadi kepala keluarga.

“Kalau dari sisi orang tua, mungkin orang tua juga ingin melihat anaknya sudah berumah tangga gitu, ingin melihat yasudahlah jangan pacaran, jadi lebih baik menikah. Karena orang tua juga pasti ada khawatir jika anaknya dekat dengan lawan jenis,” ucap Dzikry.

Dzikry sendiri tidak merasa begitu kesulitan lantaran memiliki hobi yang sama dengan sang istri, meskipun sudah menikah, hal tersebut tidak menyulitkan Dzikry dari segi perkuliahan maupun segi ekonomi. Dalam hal ini, sangat jelas bahwa kesamaan antara satu sama lain, dapat memudahkan seseorang untuk menjalani kehidupan peran ganda tersebut.


Pushparagam Second Shift

Menjalani dua peran sekaligus memang bukan perkara mudah, perlunya kesiapan mental dan juga fisik menjadi salah satu dari sekian banyaknya persiapan untuk menjalankan peran ganda tersebut. Waktu istirahat yang kurang, tak jarang membuat mereka yang menjalani peran ganda tersebut terjebak dalam siklus yang berulang.

Anggi Mayangsari, selaku dosen Psikologi Universitas Negeri Jakarta memberikan pandangannya mengenai peran ganda, dimana menurut Anggi, peran ganda sendiri merupakan kondisi dimana seseorang memiliki peran lebih dari satu atau dua yang membuat beban seseorang bertambah. Secara psikologis, peran ganda sendiri dapat menyebabkan burnout karena mereka yang menjalaninya terus merasa adanya tuntutan yang datang secara terus-menerus.

Anggi juga memberitahu strategi yang efektif untuk mengatasi konflik peran antara pendidikan dan pernikahan. Menurut Anggi, hal tersebut dapat diatasi dengan cara kerja sama dengan pasangan serta pembagian peran yang jelas supaya kerja sama yang dilakukan dengan pasangan masing-masing menjadi lebih jelas.

Second Shift sendiri bukan masalah individu melainkan sebuah isu sosial yang menyatukan stigma dengan realisasi kehidupan tentang prinsip hidup seseorang. Setiap orang perlu diberikan pemahaman bahwa setiap orang memiliki pilihan. Pilihan itulah yang terbentuk dari prinsip dan juga mimpi. SIGMA TV/Hikmah Rizqiah




68 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page